. My Home: Biru

Jumat, 24 Juni 2011

Biru

“Hanya perempuan yang mencintai suaminya yang mau menerima kesukaan suaminya walau itu menyakitkan”, kataku padanya. Dia, perempuan yang menjadi sahabatku lima tahun terakhir ini. Tak mudah mengatakan ini.

Nyatanya, cinta telah membekukan perasaannya. Dari caranya menjawab aku tahu itu. “Yaiyalah, dimana-mana, gak ada istri yang gak sayang suaminya!” katanya sambil tertawa.

Dia, sahabatku. Kupikir lima tahun bisa membuatku mengenalnya. Aku keliru. Aku tak pernah mengenalnya, dia sahabatku itu, ketika suatu hari sebuah kenyataan menamparku dengan keras. Dia, sahabatku, menjalin hubungan dengan pria beristri, berputri satu. Tak pernah kuduga, dia sahabatku.

Siapa bisa menyalahkan cinta? Toh, cinta memang datang sendiri, semaunya, menggoda relung hati, dan menyesatkan ketika hati yang dihampiri begitu mudah terlena. Siapa yang bisa menyalahkan cinta? Toh, cinta adalah karunia yang manusiawi menghinggapi perasaan, membuncahkan sensasi kebahagiaan, menggelapkan ketika penglihatan mata hati yang digodanya begitu mudah terbuai.

Dan sebagai manusia biasa, wajar jika aku membencinya. Itu, pilihan sahabatku. Luka di masa lalu telah mengeraskan hatiku. Atas alasan apapun, perselingkuhan bukan hal baik, bagiku, ntah kalian. Masih terekam kuat dalam memoriku. Hari dipenuhi pertengkaran, suara keras beradu argumen, siksa raga, siksa batin. Toh, ketika semua kembali normal, dan harta berharga sebuah perkawinan bisa diselamatkan, aku, gadis kecil berusia 9 tahun waktu itu, terlanjur merekam sebuah hal yang tidak bisa dikatakan bagus. Dan luka tetaplah luka. Walau telah mengering, bekas luka akan tertinggal menandai jaman. Sesekali, dia pasti terlihat, lalu kenangan buruk itu kembali menyapa. Hasilnya, aku membenci perselingkuhan, sangat.

“Tak ada satupun yang bisa memisahkan kami,” katanya. “Kecuali dia yang meminta!” Sungguh egois. “Bagaimana kalau dia menceraikan istrinya dan memilihmu?” tanyaku menyelidik. “Aku tak mau. Karena aku tak pernah memintanya memilih. Aku hanya ingin dia bahagia bersama istri dan anaknya!” “Dengan keberadaanmu?” nada tanyaku sinis. “Yup. Jika aku pergi, dia menderita!” jawabnya penuh percaya diri. “Kau tak pikirkan perasaan anaknya?” tanyaku ketus. “Anaknya tahu papanya punya perempuan lain”, jawabnya enteng. Gila, ini sungguh gila. Ntah aku, atau sahabatku itu yang gila. Yang pasti, hanya kata gila yang ada di kepalaku malam itu. Dia, sahabat yang kukenal lima tahun terakhir ini, menoreh perih teramat dalam persendian perasaanku. “Aku tak bisa menjagamu, maaf!” bisikku pilu, dalam hati. Aku menatapnya nanar.

Perdebatan kami berlanjut malam itu. Menyisakan kebekuan di antara dua sahabat. Nyatanya, waktu lima tahun tak mampu membantuku mengenalnya. Dia, sahabatku. Kutinggalkan dia, dengan keegoisannya, dan keegoisanku. Tak ada lagi kalimat yang bisa kuucapkan. Hanya sebuah kalimat penutup, “Walau aku tak pernah setuju dengan warna biru kesukaanmu, kau tetap sahabat baik bagiku!” Dia, sahabatku.

Readmore...

Tidak ada komentar: