. My Home: BEBAN HARTA

Jumat, 24 Juni 2011

BEBAN HARTA

Sampeyan pernah naik sepur kelas ekonomi sambil mbawa duik tigapuluh juta ripis? Kira-kira rasanya pigimanah? Kira-kira sampeyan bisa tidur gak dengan kondisi seperti itu? Dengan kondisi keamanan sepur kelas ekonomi yang seperti sekarang, mbawa duik tigapuluh juta ripis di dalamnya adalah satu aktifitas yang menyiksa. Akan lebih menyiksa manakala duik itu adalah duiknya bos kantor dimana dia bekerja, yang harus diantar ke tujuan dengan selamat, dan kalo terjadi apa-apa harus ngganti… Mak nyuuut..

Bahkan jikalau bepergian di dalam fasilitas transportasi yang aman sekalipun, orang pingin bepergian dengan praktis dan aman. Gak mau direpotkan membawa-bawa barang yang malah membebani perjalanan. Maka menungso yang pikirannya begitu itulah yang setelah melalui ribuan tahun sejarah kemanusiaan, akhirnya menemukan yang namanya ATM dengan kartunya. Kartu kecil, gampang dibawa dan disimpan, yang manfaatnya lebih besar daripada mbawa tumpukan koper berisi tetek bengek bekal perjalanan.

Adalah konsep hidup model begitulah yang dianut salah seorang sohib simbah, yang tinggal di tlatah Javanese sono. Sebut saja namanya Abdul Ghani (bukan nama sebenarnya temtunya). Seorang yang sederhana, rumahnya kecil, anak banyak dengan segudang aktifitas yang menyibukkan dirinya sehingga hanya menyisakan sedikit waktu dia untuk nyari nafkah buat keluarganya.

Dengan waktu sehari yang cuma sekian jam untuk nyari duik itu, akhirnya membuat penghasilannya gak pernah banyak secara kuantitas. Maka tak terbersit sama sekali dalam hati Kang Abdul Ghani ini untuk bercita-cita jadi sugeh mblegedhu. Dia tahu diri, memang rejekinya hanya selevel koret-koret dasar kuali, alias rejeki kelas recehan.

“Yah, mau apalagi tho mbah hidup ini. Wong ya cuma mampir sekian puluh tahun, habis itu nggeblas lagi ke alam berikut. Mau sugeh ya akhirnya matek, mau miskin ya akhirnya matek. Lha wektu nyari duik cuma sebentar, ya memper lah kalo cuma dikasih segini. Yang penting cukup,” katanya pada suatu hari.

Kata yang terakhir itulah yang menjadi misteri buat simbah. “Yang penting cukup”. Dan memang begitulah adanya. Dengan anak yang pating drindil, yang saat ini kalo gak salah sudah lima anak, pigimanah mengandalkan rejeki kelas koretan dan lantas dengan klecam-klecem bisa ngomong dengan santai “Yang penting cukup”? Herannya memang bener-bener cukup. Anaknya bisa sekolah semua, makan sehari-hari cukup, bisa mbayar rekening tagihan bulanan, dan mantabhnya dia sangat mandiri.

Salah seorang rekan ngaji simbah menyebut rejekinya sebagai rejeki kelas “tuhia”. Yakni rejeki yang kalau pas “butuh” lalu sudah “tersedia”. Simbah melihatnya seperti orang yang bepergian gak bawa bawaan macem-macem, tapi ATM nya berisi duik dengan nominal puluhan digit. Klecam-klecem, cengar-cengir, gak repot, nyantai, gak terbebani dengan bawaan, tapi tiap kali butuh tinggal pencet-pencet tombol PIN dan duik dateng.

Bandingkan dengan Kang Panjul yang baru pertama kali blayangan ke Jakarta dari desanya di Gunung Kidul sana. Ha wong ke Jakarta kok mbawa baju lima koper karena takut gak sempat umbah-umbah, mbawa klapa 10 butir yang katanya buat mbikin es degan di Jakarta, mbawa pitik babon lima ekor, plus pete limang renteng buat lalap. Penumpang model beginilah yang mbikin penumpang kendaraan angkutan umum lainnya jadi tersiksa.

Cuma masalahnya, punya rejeki tuhia itu gak gampang. Harus punya mental dan keyakinan mantabh pada Sang Pemberi dan Pengatur Rejeki. Ditambah lagi, harus punya PIN yang cocok, yakni doa yang makbul. Bayangkan, anak sakit, anak sekolah, anak kuliah, anak isteri butuh makan, dan kebutuhan lainnya tinggal sambat ke langit dengan penuh yakin, besoknya rejeki datang dengan beribu sebab dan jalan menghampiri rumahnya. Tentu saja dengan diiringi sikap harap-harap cemas, khauf dan roja. Dan ini sikap orang yang bertaqwa.

Banyak orang yang gak siap dengan gaya hidup seperti ini. Orang lebih memilih menjalani perjalanan hidupnya ala kang Panjul dari Gunung Kidul. Apa-apa punya atau dengan kata lain wajib kaya. Duik buat “kalo-kalo” anak sakit harus sudah ada, duik “kalo-kalo” ntar anak kuliah harus tersedia, duik “kalo-kalo” terjadi apa-apa sudah tersedia juga. Barulah jika segala “kalo-kalo” yang ditakutkan manusia itu terkafer semua, maka dia baru bisa tidur nyenyak, tidur pules, gak khawatir, gak cemas dan gak dihantui “hantu-hantu” kebutuhan pokoknya.

Kenyataannya tidak begitu. Ketika manusia jumpalitan mengusir rasa ketakutannya akan “kalo-kalo” yang hendak terjadi dengan menyiapkan harta sebanyak-banyaknya, disini dia dihantui dengan ketakutan yang lain. Yakni ketakutan akan kehilangan semuanya. Dia dituntut harus mempertahankan hartanya agar tidak hilang, habis serta gak dicolongi, dan itu adalah satu bentuk kesibukan tersendiri yang gak kalah menyiksanya. Hal yang gak pernah dialami kang Abdul Ghani atau penumpang yang gak bawa apa-apa selain selembar ATM bermuatan puluhan digit tadi.

Readmore...

Tidak ada komentar: