. My Home: Seorang Ibu dan Air Panas

Senin, 17 Januari 2011

Seorang Ibu dan Air Panas

Oleh: Prie GS
Kiriman: Toekang

Seorang ibu yang tengah sibuk di dapur, tengah menuang air panas ke dalam termos lewat sebuah gayung. Pada saat yang sama putranya baru datang dari sekolah dengan kabar duka: ia gagal naik ke kelas III SD. Sang ibu murka dan secara spontan membuang sisa air panas di gayung itu ke tubuh anaknya.

Cerita selanjutnya bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana derita seorang anak yang terguyur air panas di tubuhnya.

Ibu ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Pada saat itu, ia di dapur dengan menggendong bayinya sementara sang suami sedang pergi ke sawah. Dari sedikit latar belakang ini, kita bisa menduga-duga, guyuran air panas itu bisa saja refleks dari sebuah persoalan yang panjang.

Skenario pertama: barangkali ibu ini sedang tidak puas dengan hidupnya sendiri. Maka ketika si anak pulang dengan kegagalan, berita itu dianggapnya hanya penambah kepahitan hidupnya. Maka air panas di dalam gayung itu cuma refleks. Air itu hanya sarana pelepas dari seluruh tekanan hidupnya yang berat. Soal bahwa air itu kebetulan panas, dan tubuh anaknya pula yang menjadi penadahnya, membuat sang ibu ini kaget dan menyesali perbuatannya sendiri.

Skenario kedua: ibu ini adalah jenis orang tua yang memang menginginkan anak berpretasi. Tapi saking bersemangatnya, ibu ini lalu menjelma sebagai kita, orang tua yang sangat ingin melihat anaknya berprestasi tapi tak pernah mau repot-repot terlibat dalam prosesnya. Orang tua jenis kita itu lalu melebar lagi pada jenis pejabat dan sistem kekuasaan yang hanya bisa menghargai juara, menghujani dengan bonus dan hadiah, tapi selalu lupa untuk menciptakan iklim agar banyak orang bisa menjadi juara.Menemani anak belajar, mengargai kepintaran dan kebodohannya, berdiskusi dengan anak, pasti jauh lebih penting katimbang sekadar nilai-nilai rapornya, sekadar kegagalan atau kenaikan kelasnya. Menghargai kehidupan atlet, menciptakan banyak turnamen, menumbuhkan fasilitas berlatih, pasti jauh lebih mendasar katimbang memuji-muji atlet setelah ia jadi juara.

Tanpa dipuji para juara itu sudah kenyang pujian. Tanpa dihadiahi para juara itu sudah kebanjiran hadiah. Menghargai juara pasti penting, tapi merawat banyak calon juara pasti jauh kebih penting. Melihat anak sekolah naik kelas pasti penting, tapi merangsang kemampuannya untuk naik kelas, pasti jauh lebih penting. Menjadi juara, menjadi bintang kelas, adalah cuma hasil. Tapi penyebab keberhasilan itu, adalah soal yang selalu kita lupa.

Kita selalu tergoda cuma kepada akibat tapi tak pernah mengkrapi sebab. Berapa banyak kita sanggup berdialog dengan anak-anak justru ketika mereka membutuhkannya. Anak-anak selalu ingin berdiskusi banyak hal dengan orang tuanya, tapi waktu kita selalu sedikit saja. Bisa sedikit karena kesibukan, bisa sedikit karena kebosanan.

Bosan kepada anak? Bagaimana itu mungkin! Mungkin saja. Anak-anak pasti sealu membutuhkan dongeng sebelum tidur, tapi seberapa kuat kita melakukannya. Anak-anak selalu butuh didengar apapun peroalannya, tapi seberapa banyak kita menyediakan diri sebagai pendengar. Anak-anak selalu butuh penghargaan, tapi seberapa banyak penghargaan itu kita sediakan.

Anak-anak selalu membutuhkan kelembutan bahkan sampai di tingkat kata-kata, tapi ayo kita hitung seberapa banyak kita mengasari anak mulai dari tingkat: cuek, basa-basi, ketus, membentak, menghardik, hingga puncaknya mengguyur air panas seperti ibu yang murka tadi. Semua ini adalah tanda-tanda yang sempurna kebosanan orang tua kepada anak, walau seribu kali kita mengaku cinta dan sayang kapada anak-anak.

Lalu layakkah orang-orang tua yang tidak pernah menanam kebaikan pada anak ini, berhak memanen kebaikan yang sama pada anak-anaknya. Banyak orang tua malas tapi enggan menuai risiko atas kemalasannya.

Readmore...

Tidak ada komentar: